• Alhamdulillah, Portal resmi Masjid Raya Fatimah telah rilis dan semoga bisa memberikan kebermanfaatan.
Rabu, 30 Oktober 2024

Siapa Anak Lanang Itu?

Siapa Anak Lanang Itu?
Bagikan

Saben memasuki bulan Agustus, HUT negri kita tiba, jadi ingat lagi kisah “nasionalismenya” sedulur tani yang “all out” untuk bangsa dan negaranya. Hal itu telah diabadikan almarhum sang maestro, mbah Gesang dalam lagunya “Caping Gunung, dan Dongèngan” yang tak asing di telinga kita semua.

Mereka rela berkurban yang berwujud “arta, dan bandha”, bahkan nyawanya sekalipun untuk ikut andil memberikan kontribusi perjuangan yang tanpa pamrih itu. Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan, kalau hanya kepengen mendapatkan imbalan materi, ingin kelak dikubur di makam Pahlawan dan lainnya…(sama sekali tidak!!).

Tetapi itu muncul dari kesadaran hati yang paling dalam (tulus ikhlas), orang yang punya “future oriented” (yakin pasti akan dibalas Nya kelak). Maka mereka siap berkorban (apa saja yang dimilikinya) untuk menegakkan kebenaran, menuntut haknya yang dirampas penjajah (rawe-rawe rantas malang-malang putung, lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup di tangan penjajah !!).

Sedulur tani yang “relegius” tidak merasa “owel” untuk mengeluarkan semua hasil pannnnya guna ngopeni para prajurit dan orang kutha yang ngungsi ke desa.

Penggalan sair lagu “caping gunung” berbunyi :

“Dhèk jaman berjuang njur kèlingan ‘anak lanang’. Biyèn tak opèni njur saiki ana ngendi

Jaréné wis menang keturutan sing digadhang. Biyèn naté janji, njur saiki apa lali

Nèng gunung tak cadhongi sega jagung. Yèn mendhung tak silihi caping gunung.

Sokur bisa nyawang gunung désa dadi reja. Bené ora ilang anggoné lara lapa !! ”

Kontek pada waktu dulu bahwa yg dibidik dengan sebutan”anak lanang”, bisa jadi :

Para prajurit yang menyamar, ndelik, ngungsi ke desa (strategi lari dari pengejaran musuh) beberapa hari, bahkan berbulan- bulan. Atau wong “kutha” beserta keluarganya yang ngungsi (untuk selamatkan diri) ke desa beberapa waktu , karena kota sudah dikuasai oleh pegundal-pegundal (penjajah).

Pertanyaannya : Terus yang ngopèni selama di desa siapa ?

Jelas yang nrésnani, ngopèni, dan nyadhongi tidak lain adalah sedulur tani dan keluarganya dengan dada yang jembar. Tersirat sebuah janji bahwa besuk kalau sudah “menang, merdeka” akan begini dan begitu, tapi ditunggu kok tidak muncul, janjinya juga tidak datang (?).

(sedulur tani pun tidak banyak tuntutan, cuma bertanya : lali apa nglali, yèn lali mbok ênggal bali ?).

Dalam kontek kekinian, anak lanang tadi bisa juga mereka yang “mewakili rakyatnya”, yang dulu saat kampanye “muprul” dengan janji, dan nggawil dengan ucapan manis segala.

Jebulé mung “kakèhan gludhug kurang udan, dan njurang grawah ora mili”, alias makplekethis, dan mbèlgèdhès thok !!.

(éling : Gusti Allah ora saré…).

Mumpung masih ada waktu untuk berbakti dan mengabdi, buktikan janjimu, penuhi kata manismu dalam kerja nyata yg riil, bukan sebaliknya bikin pingget dan tatu di hati rakyat. Semoga “umur akherat” mereka lebih panjang dari “umur dunianya”, sehingga setelah selesai, pensiun :

Namanya manis, abadi sepanjang masa, jadi.”kembang lambé sing apik ” di tengah rakyatnya, bukan jadi bahan “sumpah sarapah” yang tidak baik.

Sedulur ndesaku kalian adalah Pahlawan, orang yang pantas mendapat pahala karena perjuangan dan pengorbanannya membela kebenaran pada masa perjuangan dulu. Oke, dimana “anak lanang” itu, apa sudah lupa terhadap prasetia dan janjinya dulu ?

Selamat HUT RI yang ke tujuh puluh lima, Merdeka…Allohu Akbar !!!

Ust  Drs  H. Mualif Rosyidi

SebelumnyaMenyambut Bulan MuharramSesudahnyaKisah Syafaat Jibril AS untuk Umat Rasulullah SAW di Neraka